Slide Title 1

Aenean quis facilisis massa. Cras justo odio, scelerisque nec dignissim quis, cursus a odio. Duis ut dui vel purus aliquet tristique.

Slide Title 2

Morbi quis tellus eu turpis lacinia pharetra non eget lectus. Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Donec.

Slide Title 3

In ornare lacus sit amet est aliquet ac tincidunt tellus semper. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Senin, 09 Januari 2012

Pengaruh Filsafat Yunani terhadap Pemikiran filsafat Islam

Pengaruh Filsafat Yunani terhadap Pemikiran filsafat Islam

Dilihat dari aspek sejarah, kelahiran ilmu filsafat islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam.

Pusat-pusat ilmu pengetahuan purbakala yang ada di Yunani dan Alexandria, dan sebelumnya Mesir serta Babylonia maupun Persia, jatuh ke tangan kaum muslimin. Kota-kota seperti Antioch, Harran dan Jundishapur menjadi bagian dari Dar Al-Islam. Menjelang berakhirnya bani Umayyah dan permulaan periode bani Abbasiyah, penerjemahan bahasa-bahasa purbakala mulai dilakukan ke dalam bahasa Arab dengan bantuan orang-orang terpelajar dari berbagai pusat tersebut. Proses penerjemahan memakan waktu hampir 150 hingga 200 tahun yang berhasil menerjemahkan sebagian besar filsafat dan ilmu pengetahuan purbakala ke dalam bahasa Arab dan untuk waktu 700 tahun berikutnya, bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang paling penting di seluruh dunia.

Usaha ini melahirkan sejumlah filsuf besar muslim. Dunia Islam belahan Timur yang berpusat di Bagdad. Pada masa Harun ar-Rasyid (170-193 H/786-809 M) lebih diutamakan penerjemahan filsafat Aristoteles dan Persia. Kemudian pada masa Al-Makmun, penerjemahan lebih aktif lagi dan disertai dengan pengiriman tim-tim ahli ke Negara tetangga, seperti Cyrus dan Romawi untuk mendapatkan buku-buku filsafat. Pada giliran berikutnya, muncul para filsuf muslim yang terkenal, kemudian menulis berbagai buku dalam memperkaya khazanah keilmuan ini dalam berbagai cabangnya, seperti kedokteran, logika astronomi dan lainnya. Mereka diantaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina.

Memperkuat pernyataan di atas, Ahmad Syalabi dan Louis Ma’luf menguraikan bahwa sejarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa daulah Abbasiah pertama (132-232 H/750-847). Ilmu ditransfer ke dunia Islam melalui penerjemahan dari buku-buku filsafat Yunani yang telah tersebar di daerah-daerah Laut Putih seperti; Iskandariah, Anthakiah dan Harran. Terlebih pada masa Al-Makmun yang dikenal sangat tertarik pada kemerdekaan berpikir, yang berkuasa antara 198-218 H/813-833 M dan mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi, Bizantiun yang beribukota di Konstantinopel. Dari kota ini, buku-buku filsafat diperoleh dan diterjemahkan sekalipun dari bahasa Suryani. Kegiatan penerjemahan ini disertai pula dengan uraian dan penjelasan seperlunya. Para Cendekiawan ketika itu berusaha memasukkan filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi dalam menjelaskan Islam, terutama akidah untuk melihat perlunya persesuaian antara wahyu dan akal.

Tentu saja, aktifitas para filsuf muslim di atas bersentuhan dengan penafsiran al-Qur’an. Bahkan kecenderungan menafsirkan al-Qur’an secara filosofis besar sekali. Al-Kindi misalnya yang dikenal sebagai Bapak Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahami al-Qur’an dengan benar isinya harus ditafsirkan secara rasional bahkan filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam dibalik terbit tenggelamnya matahari, berkembang menyusutnya bulan, pasang surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan ini merupakan seruan untuk berfilsafat. Seperti halnya Al-Kindi, Ibn Rusyd pun berpendapat demikian. Lebih jauh, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa tujuan dasar filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini, filsafat sesuai dengan agama sebab tujuan agama pun tidak lain adalah menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis.

Itulah sebabnya, Nurkholis Madjid menyatakan bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani.

Uraian di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia Yunani, seperti yang disebutkan, baik oleh Ahmad Fuad Al-Ahwani maupun Nurkholis Madjid yang menyatakan bahwa pemakaian kata “filsafat” di dunia Islam digunakan untuk menerjemahkan kata “hikmah” yang ada dalam teks-teks keagamaan Islam, seperti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Nurcholis Madjid bahwa orang-orang Islam berkenalan dengan ajaran Aristoteles dalam bentuknya yang telah ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang Syria dan itu berarti bahwa masuknya unsur-unsur Neoplatonisme. Cukup menarik bahwa sebagian orang Islam begitu sadar tentang Aristoteles dan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar atau sedikit sekali mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonisme di dalamnya. Ini menyebabkan sulitnya membedakan antara kedua unsur Hellenisme yang paling berpengaruh terhadap filsafat Islam itu karena memang terkait satu sama lainnya.

Sekalipun begitu, masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul dengan jelas dalam berbagai paham tasauf. Ibnu Sina misalnya dapat dikatakan sebagai seorang Neo-Platonis disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan rohani menuju Tuhan seperti dimuat dalam kitabnya, Isharat. Memang, Neoplatonisme yang spritualis itu banyak mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sufi, dan yang paling menonjol adalah yang ada dalam ajaran sekelompok orang Muslim yang menamakan diri mereka Ikhwan Ash-Shafa.

Demikian pula, kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar Aristotelianisme, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum muslim banyak memanfaatkan metode berpikir logis menurut logika formal (silogisme) Aristoteles. Cukup sebagai bukti betapa jauhnya pengaruh ajaran Aristoteles ini-yang populernya ilmu mantiq-di kalangan umat Islam.

Akan tetapi, mustahil melihat filsafat Islam sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan karena itu mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibnu Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat An-Nubuah. Mereka juga banyak mencurahkan banyak tenaga untuk kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat padanannya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para filsuf muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme), asal usul penciptaan dan seterusnya, yang semuanya itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.

Dengan demikian, tampak jelas adanya hubungan yang bersifat akomodatif bahwa filsafat Yunani memberi modal dasar dalam pelurusan berpikir yang ditopang sejatinya oleh Al-Qur’an sejak dulu. Secara teologis dapat dikatakan bahwa sumber Al-Qur’an secara azali telah ada maka filsafat Yunani hanya sebagai pembuka, sementara bahan-bahannya sudah ada di dalam Al-Qur’an sebagai desain besar Allah SWT.

Dalam kaitan dengan penggunaan akal sebagaimana dalam teologi, tidak heran kalau kaum Mu’tazilah memberikan prioritas rasional pada cara pandang Yunani dalam melihat Al-Qur’an. Di sinilah sumbangan besar Mu’tazilah sebagai sebuahphilosofhy of kalam dalam kehidupan intelektual Islam. Mereka merupakan peletak dasar disiplin keilmuan teologi spekulatif atau teologi filsafati. Mereka pun memberikan penghormatan besar pada penggunaan akal, meskipun tetap dalam jalur yang sangat konsisten dengan Al-Qur’an. Pemikiran-pemikiran teologi rasional Mu’tazilah inilah yang nantinya memberikan lahan subur untuk berkembangnya filsafat Islam yang kelak akan merenungkan visinya berdasarkan paham-paham filsafat Yunani yang kemudian diselaraskan dengan Al-Qur’an.

Ringkasnya dapat dikatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani secara doktrinal memiliki hubungan bahwa Islam memiliki ajaran untuk mencari pengetahuan dan alatnya adalah akal untuk menggali pemikiran yang benar. Begitu pula dalam filsafat Yunani, akal menjadi pusat pemikiran yang begitu bebas, sementara dalam filasafat Islam diberikan kelonggaran meskipun terdapat keketatan dalam penggunaan rasio.

Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakkan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Para filosof Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan filosof Yunani lainnya. Sehingga banyak teori-teori filosuf Yunani diambil oleh filsuf Islam.

Demikian keadaan orang yang datang kemudian. Kedatangan para filosof Islam yang terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya, dan berguru kepada filsuf Yunani. Bahkan kita yang hidup pada abad ke-20 ini, banyak yang berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan mengutip, sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, sebagaimana yang dikatakan oleh Renan, karena filsafat Islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pikiran. Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi sumbernya. Pertukaran dan perpindahan suatu pikiran bukan selalu dikatakan utang budi. Suatu persoalan dan hasilnya dapat mempunyai bermacam-macam corak. Seorang dapat mengemukakan persoalan yang pernah dikemukakan oleh orang lain sambil mengemukakan teorinya sendiri. Spinoza, misalnya, meskipun banyak mengutip Descartes, ia mempunyai mahzab sendiri. Ibnu Sina, meskipun menjadi murid setia Aristoteles, ia mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.

Para filsuf Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filsuf-filsuf lain. Sehingga pengaruh lingkungan terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya, tidaklah dapat dipungkiri bahwa dunia Islam berhasil membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu sendiri.

B. PENUTUP

Demikian sekilas pembahasan tentang pengaruh filsafat Yunani terhadap dunia Islam. Secara historis ilmiah menunjukkan bahwa ada keterkaitan pemikiran yang berkembang antara budaya, pola pikir dan wawasan keilmuan antara Islam dengan Yunani, dibuktikan dengan beberapa bentuk pengembangan keilmuan dan penerjemahan karya seseorang. Selain penggunaan teori-teori filosof Yunani diambil oleh filsuf Islam.

Para filosof Islam tercatat memberikan sumbangan pengetahuannya kepada perkembangan ilmu itu sendiri menamakannya dengan filsafat Islam. Hal ini menunjukkan Islam bukan sekedar nama agama, tetapi juga mengandung unsur kebudayaan dan peradaban yang tinggi dan layak untuk ditumbuhkembangkan kepada generasi sesudahnya. Waalu’alamu.


DAFTAR PUSTAKA

Amin Ahmad. 1974, Dhuha Islam, Kairo : An-Nahda Al-Misriah.

Louis Ma’luf, 1973. Al-Munjid fi Al-Iklam, Beirut : Dar Al-Fikr.

Madjid Nurcholis, 1995. Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina.

Nasution Harun. 1973 Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang.

Panuju Panut. 1994, Kuliah Filsafat Islam, Lampung : Gunung Pesagi.

Rahman Fazlur. 1994 A Young Muslim’s Guide to the Modern World, Alih Bahasa Menjelajah Dunia Modern, Bandung : Mizan.

Selasa, 03 Januari 2012

proposal pempelajaran pkn


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga Negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, perlu ditingkatkan terus menerus untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstitusi Negara Republik Indonesia perlu ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia, khususnya generasi muda sebagai generasi penerus.
Indonesia harus menghindari sistem pemerintahan yang memasung hak-hak asasi manusia, hak-hak warganegara untuk dapat menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Kehidupan yang demokratis didalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan, dan organisasi-organisasi non pemeritahan perlu dikenal, dipahami, diinternalisasi, dan diterapkan demi terwujudnya pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi serta demi peningkatan martabat kemanusian, kesejahteraan, kebahagiaan, kecerdasan dan keadilan.
Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga Negara yang baik, yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship Education) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (KBK 2004 dan Standar Isi 2006) ditegaskan bahwa :
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tujuan Pendidikan Menengah Kejuruan :
Tujuan Pendidikan Menengah Kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya
B. Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan
Standar isi Pendidikan Kewarganegaraan SMA/SMK/MA :
1. Memahami hakekat Bangsa dan Negara kesatuan Republik Indonesia
2. Menganalisis sikap positif terhadap penegakan hokum, peradilan nasional, dan tindakan anti korupsi
3. Meganalisis pola-pola dan partisipasi aktif dalam pemajuan, penghormatan serta penegakan HAM baik di Indonesia maupun luar negeri
4. Menganalisis peran dan hak warganegara dan system pemerintahan Negara Kesatuan Repbulik Indonesia
5. Menganalisis budaya politik demokrasi, konstitusi, kedaulatan Negara, keterbukaan dan keadilan di Indonesia
6. Mengevaluasi hubungan Internasional dan sistem hokum internasional
7. Mengevaluasi sikap berpolitik dan bermasyarakat madani sesuai dengan pancasila dan UUD 1945
8. Mengaalisis peran Indonesia dalam politik dan hubungan Internasional, regional dan kerjasama Global lainnya
9. Menganalisis sistem hukum internasional, timbulnya konflik internasional, dan mahkamah internasional.
Dari Standar Isi dan Standar Kompetensi tersebut diatas, penulis memilih butir ketiga yaitu meganalisis pola-pola dan partisipasi aktif dalam pemajuan, penghormatan serta penegakan HAM baik di Indonesia maupun di luar negeri, sebagai landasan judul proposal peneltian ini.
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman selama ini, siswa kurang aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Anak cenderug tidak begitu tertarik dengan pelajaran PKn karena selama ini pelajaran PKn dianggap sebagai pelajaran yang hanya mementingkan hafalan semata, kurang menekankan aspek penalaran sehingga menyebabkan rendahnya minat belajar PKn siswa di sekolah.
Banyak faktor yang menyebabkan hasil belajar PKn siswa rendah yaitu faktor internal dan eksternal dari siswa. Faktor internal antara lain: motivasi belajar, intelegensi, kebiasan dan rasa percaya diri. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang terdapat di luar siswa, seperti; guru sebagai Pembina kegiatan belajar, startegi pembelajaran, sarana dan prasarana, kurikulum dan lingkungan.
Dari masalah-masalah yang dikemukakan diatas, perlu dicari strategi baru dalam pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif. Pembelajaran yang mengutamakan penguasaan kompetensi harus berpusat pada siswa (Focus on Learners), memberika pembelajaran dan pengalaman belajar yang relevan dan kontekstual dalam kehidupan nyata (provide relevant and contextualized subject matter) dan mengembangkan mental yang kaya dan kuat pada siswa.
Disinilah guru dituntut untuk merancang kegiatan pembelajaran yang mampu mengembangkan kompetensi, baik dalam ranah kognitif, ranah afektif maupun psikomotorik siswa. Strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa dan peciptaan suasana yang menyenangkan sangat diperlukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran PKn. Dalam hal ini penulis memilih model “pembelajaran berbasis masalah” (Problem Based Learning) dalam meningkatkan kemampuan memecahkan masalah HAM dalam mata pelajaran PKn.
Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu proses belajar mengajar didalam kelas dimana siswa terlebih dahulu diminta mengobservasi suatu fenomena. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul, setelah itu tugas guru adalah merangsang untuk berfikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan persfektif yang berbeda diantara mereka.
Menurut E. Mulyana Pembelajaran aktif dengan menciptakan suatu kondisi dimana siswa dapat berperan aktif, sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator. Pembelajaran harus dibuat dalam suatu kondisi yang menyenangkan sehingga siswa akan terus termotivasi dari awal sampai akhir kegiatan belajar mengajar (KBM). Dalam hal ini pembelajaran dengan Problem Based Learning sebagai salah satu bagian dari pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan guru disekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran PKn.
Berdasarkan uraian diatas maka proposal penelitian ini, dirancang untuk mengkaji penerapan pembelajaran model “Problem Based Learning” dalam meningkatkan kemampuan memecahkan masalah HAM dalam mata pelajaran PKn
C. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pembelajaran model Problen Based Learning dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah HAM dalam masalah PKn?
2. Bagaimana penerapan pembelaran model Problem Based Learning di kelas dalam mata pelajaran PKn?
3. Sejauh manakah pendekatan model Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa?
D. PEMECAHAN MASALAH
PKn sebagai salah satu bidang studi yang memiliki tujuan “How to Develop Better Civics Behaviours” membekali siswa untuk mengembangkan penalarannya disamping aspek nilai dan moral, banyak memuat materi sosial. PKn merupakan salah satu dari lima tradisi pendidikan IPS yakni citizenship transmission, saat ini sudah berkembang menjadi tiga aspek PKn (Citizenship Education), yakni aspek akademis, aspek kurikuler dan aspek sosial budaya.
 Secara akademis PKn dapat didefinisikan sebagai suatu bidang kajian yang memusatkan telaahannya pada seluruh dimensi psikologi dan sosial budaya kewarganegaraan individu dengan menggunakan ilmu politik dan pendidikan sebagai landasan kajiannya.
Implementasiya sangat dibutuhkan guru yang profesional, guru yang profesional dituntut menguasai sejumlah kemampuan dan keterampilan, antara lain :
1. Kemampuan menguasai bahan ajar
2. Kemampuan dalam mengelola kelas
3. Kemampuan dalam menggunakan metode, media dan sumber belajar
4. Kemampuan untuk melakukan penilaian baik proses maupun hasil
Selanjutnya UNESCO dalam Soedijarto (2004 : 10-18) mencanangkan empat pilar belajar dalam pembelajaran (termasuk model Problem Based Learning) :
1. Learning to Know ( penguasaan ways of knowing or mode of inquire)
2. Learning to do ( controlling, monitoring, maintening, designing, organizing)
3. Learning to live together
4. Learning to be
Berdasarkan uraian analisis permasalahan diatas, pendekatan model Problem Based Learning apabila diterapkan di kelas akan dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah HAM dalam mata pelajaran PKn.
E. TUJUAN PROPOSAL
Tujuan Proposal Penelititan ini adalah upaya meningkatkan kemampuan memecahkan masalah HAM dalam mata pelajaran PKn khususnya siswa MA/SMA di Pamekasan sehingga pembelajaran PKn menjadi lebih menyenangkan dan menimbulkan kreatifitas.
F. MANFAAT PROPOSAL
Secara teoritis dan praktis, proposal ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Memperbaiki proses belajar mengajar dalam pelajaran PKn di Sekolah Madrasah Aliyah/ Sekolah Menengah Atas di Pamekasan
2. Mengembangkan kualitas guru dalam mengajarkan pedidikan kewarganegaraan di Sekolah Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Atas di Pamekasan
3. Memberikan alterntif kegiatan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan
4. Menciptakan rasa senang belajar Pendidikan Kewarganegaraan selama pelajaran berlangsung dengan adanya “The Involvement of Participaton melalui Problem Based Learning.”








BAB III
PROGRAM
A. Rencana Kegiatan
1. Setting penelitian
Kegiatan ini merupakan pengembangan metode dan strategi pembelajaran. Metode dalam Kegiatan ini adalah metode penelitian tindakan kelas (Class Action Research) yaitu suatu penelitian yang dikembangkan bersama sama untuk peneliti dan decision maker tentang variable yang dimanipulasikan dan dapat digunakan untuk melakukan perbaikan.
Alat pengumpul data yang dipakai dalam kegiatan ini antara lain : catatan guru, catatan siswa, wawancara dan berbagai dokumen yang terkait dengan siswa.
Prosedur kegiatan terdiri dari  4 tahap, yakni  perencanaan, melakukan tindakan, observasi,dan evaluasi. Refleksi dalam tahap siklus dan akan berulang kembali pada siklus-siklus berikutnya.
Aspek yang diamati dalam setiap siklusnya adalah kegiatan atau aktifitas siswa saat mata pelajaran PKn dengan pendekatan Problem Based Learning (pembelajaran berbasis masalah) untuk melihat perubahan tingkah laku siswa, untuk mengetahui tingkat kemajuan belajarnya yang akan berpengaruh terhadap hasil belajar dengan alat pengumpul data yang sudah disebutkan diatas.
Data yang diambil adalah data kuantitatif dari hasil tes, presensi, nilai tugas seta data kualitatif yang menggambarkan keaktifan siswa, antusias siswa, partisipasi dan kerjasama dalam diskusi, kemampuan atau keberanian siswa dalam melaporkan hasil.
Instrument yang dipakai berbentuk : soal tes, observasi, catatan lapangan. Data yang terkumpul dianalisis untuk mengukur indikator keberhasilan yang sudah dirumuskan.
2. Tempat
            Kegiatan  ini akan dilakukan di SMAN 2, Pamekasan, Penelitian dilaksanakan pada saat mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan berlangsung dengan pokok bahasan “Peran Serta dalam Penghormatan dan Penegakan HAM”.
3. Waktu Kegiatan
Penelitian direncanakan selama 1 (satu) bulan dimulai pada tanngal  01 Desember sampai dengan tanggal 1 Januari 2010.
4. BENTUK KEGIATAN
v  Identifikasi masalah dan penetapan alternative pemecahan   masalah.
v  Merencanakan pembelajaran yang akan diterapkan dalam proses belajar mengajar.
v  Menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar.
v  Memilih bahan pelajaran yang sesuai
v  Menentukan scenario pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan pembelajaran berbasis masalah. (PBL).
v  Mempersiapkan sumber, bahan, dan alat Bantu yang dibutuhkan.
v  Menyusun lembar kerja siswa
v  Mengembangkan format evaluasi
v  Mengembangkan format observasi pembelajaran.
           5. TAHAPAN KEGIATAN
A. Tindakan
v  Menerapkan tindakan yang mengacu pada skenario pembelajaran.
v  Siswa membaca materi yang terdapat pada buku sumber.
v  Siswa mendengarkan penjelasan guru tentang materi yang terdapat pada buku sumber.
v  Siswa mendengarkan penjelasan guru tentang materi yang dipelajari.
v  Siswa berdiskusi membahas masalah (kasus) yang sudah dipersiapkan oleh guru.
v  Masing-masing kelompok melaporkan hasil diskusi.
v  Siswa mengerjakan lembar kerja siswa (LKS).
B. Pengamatan
v  Melakukan observasi dengan memakai format observasi yang sudah disiapkan yaitu dengan alat perekam, catatan anekdot untuk mengumpulkan data.
v  Menlai hasil tindakan dengan menggunakan format lembar kerja siswa (LKS).
C. Refleksi
v  Melakukan evaluasi tindakan yang telah dilakukan meliputi evaluasai mutu, jumlah dan waktu dari setiap macam tindakan.
v  Melakukan pertemuan untuk membahas hasil evalusi tentang scenario pembelajaran dan lembar kerja siswa.
v  Memperbaiki pelaksanaan tindakan sesuai hasil evaluasi, untuk digunakan pada siklus berikutnya.






Membangun krakter bangsa dengan pembelajaran ips



Makalah
 



Membangun krakter bangsa dengan pembelajaran ips
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah : pendidikan ilmu sosial
Dosen Pembimbing: Drs.totok harianto




UIMColor
 









Disusun Oleh:
Nawawi







UNIVERSITAS ISLAM MADURA (UIM)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PKn
2011-2012
                                                           

KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji syukur ke kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat, hidayahnya serta taufik-Nya sehingga kami  dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan ilmu sosial  yang dibina oleh; drs. Totok hariyanto Makalah ini membahas tentang membangun krakter bangsa melalui pembelajaran ips

Kami yakin di sana sini banyak terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, karena itulah dengan senang hati kami akan menerima segala kritik dan saran demi penyempurnaan penulisan makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini  bisa menjadi salah satu dari sekian banyak sumber belajar bagi kami sebagai mahasiswa dalam upaya meningkatkan kemampuan diri.

Pamekasan, 15 Desember  2011

Penyusun

NAWAWI


DAFTAR   ISI

Halaman sampul
Kata Pengantar ............................................................................................        i
Daftar Isi .....................................................................................................       ii

BAB  I  PENDAHULUAN ......................................................................       1
A. Latar Belakang .........................................................................       1
B. Rumusan Masalah ....................................................................       2
C. Tujuan ......................................................................................       2

BAB  II PEMBAHASAN .........................................................................       3
A.                   Membangun krakter bangsa dgn pembelajaran ips...........       3
B.                    Penomina sosial menggeser tatanan nilai dan moral.........       5
C.                    Membangun budaya dan krakter bangsa..........................       8
D.                   Peranan pendidikan ips.....................................................      11    


BAB III   PENUTUP ................................................................................       
 A.  Kesimpulan .............................................................................      14
B.     Saran .......................................................................................      14
Daftar Pustaka ............................................................................................      15



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
 Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan suatu kajian interdisipliner yang mengkaitkan berbagai ilmu-ilmu sosial, seperti: sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik, hukum, dan psikologi sosial untuk memahami berbagai fenomena dan kehidupan sosial yang perkembangannya begitu cepat dan sering tidak terduga dengan tepat (unpredicable). Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian cepat dalam era globalisasi, menambah semakin cepat perkembangan kehidupan sosial berikut dampak yang mengiringinya. Arus globalisasi dengan fenomena demokratisasi sangat berpengaruh terhadap kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Dalam konteks fenomena globalisasi, pendidikan Ilmu Pengatahuan Sosial perlu mengembangkan program pendidikan yang mampu mengakomodasikan semua kecenderungan yang terbawa dalam proses globalisasi itu. Program pendidikan tersebut perlu diwujudkan dalam bentuk “… a curriculum geared to the development of ‘world citizens’ who are capable of dealing with the crises” (Parker, dan Cogan: 1990), yakni kurikulum yang mampu mengarahkan warga dunia dalam mengelola krisis.
               









B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakar di atas maka bisa di rumuskan dalam makalah ini
A. Bagaimanakan cara membangun krakter bangsa dengan pembelajaran ips..?
B. Apakah penomina sosial menggeser tatanan nilai dan moral..?
C. Bagaimanakah cara membangun budaya dan krakter bangsa..?
D. Bagaimanakah  peranan pendidikan ips...?
C.     TUJUAN
Salah satu penulisan makalah ini tidak lain adalah hanya untuk lebih mengerti dan lebih memahami tentang gejala-gejala social yang ada d masyarakat yang semakin hari semakin berubah peradabannya karna krakter bangsa sekarang ini sudah mengalami penurunan atau krisis kepercayaan.




















BAB II
PEMBAHASAN
A.    MEMBANGUN KRAKTER BANGSA  DENGAN  PEMBELAJARAN IPS.
                Pembangunan bangsa dan pembangunan karakter (nation and character building) merupakan komitmen nasional yang memiliki sejarah panjang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Makna semangat Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan dan untaian kata yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan bukti sejarah yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Makna tersebut merupakan bukti yang tak terbantahkan bahwa pembangunan bangsa dan pembangunan karakter merupakan komitmen bangsa Indonesia sejak masa kebangkitan nasional (Kaelan, 2004).
                Di era reformasi, semangat pembangunan bangsa dan pembangunan karakter tercermin dalam pengakuan atas hak-hak warganegara sebagai isu sentral dalam masyarakat pluralis yang demokratis. Perjuangan dalam pemerolehan hak sipil, hak asasi manusia dan keadilan sosial serta kesejahteraan masyarakat diyakini akan lebih mudah diwujudkan. Upaya itu antara lain: melalui Amandemen UUD 1945 dan berbagai produk perundangan yang telah menjamin hak-hak warga sipil dalam berbangsa dan bernegara. Derap reformasi yang telah bergulir selama satu dasawarsa, belum menunjukkan terwujudnya cita-cita reformasi, selain pada aspek kebebasan berekspresi dimana kesempatan yang tersedia memang jauh lebih luas (tidak terkekang) dibandingkan dengan kesempatan pada masa rezim orde sebelumnya. Di lain pihak, di era ‘transisi demokrasi’ bangsa Indonesia justru dihadapkan pada pelbagai fenomena yang mempengaruhi kehidupan sosial, seperti nasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme.
                 Budaya demokratisasi dan keterbukaan merupakan kebutuhan bagi bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di era kini. Berbagai komponen masyarakat, mulai dari elit politik, para birokrat dalam sistem pemerintahan, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, kaum intelektual, hingga masyarakat luas mendambakan suasana kehidupan yang menjamin kebebasan untuk berekspresi dan mengembangkan ide dan pendapatnya. Pembentukan struktur pemerintahan negara yang demokratis tanpa diimbangi dengan tumbuhnya kehidupan demokrasi akan menjurus pada lahirnya kehidupan demokrasi yang semu (pseudo demokrasi) seperti yang pernah terjadi dalam sistem pemerintahan Indonesia pada periode-periode sebelumnya. Oleh karena itu, pembinaan pemahaman akan prinsip-prinsip serta cara hidup yang demokratis adalah salah satu tantangan mendasar bagi sistem pendidikan nasional dalam membentuk dan mengembangkan kehidupan negara dan masyarakat yang semakin demokratis.
                 Komitmen nasional untuk membangun karakter bangsa telah digariskan dalam pasal 31 UUD 1945 beserta peraturan perundangan dibawahnya seperti Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19/2006 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan peraturan lainnya yang menjadi instrumen untuk mewujudkan komitmen nasional itu. Pada perspektif pendidikan ilmu pengetahuan sosial, proses pembelajaran perlu dirancang dan diprogramkan antara lain untuk mewujudkan program-program pendidikan demokrasi yang mengarah pada pembentukan karakter bangsa Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk menumbuhkan karakter warga negara baik karakter privat, seperti tanggung jawab moral dan sosial, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu; maupun karakter publik, misalnya kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi (Winataputra dan Budimansyah,2007:192).
                Sejak awal kemerdekaannya, Pemerintah Republik Indonesia memberikan tanggung jawan kepada sekolah melalui jalur pendidikan formal dalam upaya pembangunan karakter bangsa melalui Pendidikan Kemasyarakatan (ilmu bumi, sejarah dan pengetahuan kewargaan negara). Pendidikan Kemasyarakatan, pembangunan karakter bangsa mulai diprogramkan secara lebih sistimatis (Kurikulum 1964). Pada kurun waktu berlakunya Kurikulum 1964 (Sapriya, 2009:41) mata pelajaran Pendidikan Kemasyarakatan menanamkan kesadaran hubungan timbal balik antar sesama anggota masyarakat, memahami lingkungan sosial dan latar belakang sejarah bangsanya. Pada kurun berlakunya Kurikulum 1968 dikenal adanya mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya mencakup Civics (pengetahuan kewargaan negara), ilmu bumi Indonesia, dan sejarah Indonesia (untuk sekolah dasar). Mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara telah memulai upaya pendidikan karakter bangsa, terutama melalui kajian Civics dan Sejarah.
                 Peran sekolah yang sangat strategis untuk membina generasi muda dalam pengembangan karakternya, terlebih di era globalisasi menuntut pembelajaran IPS dan PKn lebih pro-aktif dalam mewujudkan perannya dalam membangun budaya dan karakter bangsa. Sekolah sebagai lembaga resmi yang membina generasi muda perlu direncanakan pelaksanaan pembelajaran serta konseptualnya , sehingga upaya membangun budaya dan karakter bangsa bisa lebih efektif sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
                Munculnya era reformasi sebagai akibat dari jatuhnya sistem politik Orde Baru, menumbuhkan komitmen baru ke arah perwujudan cita-cita membangun budaya dan karakter bangsa serta nilai demokrasi konstitusional yang lebih dinamis. Mata pelajaran IPS bahu membahu dengan mata pelajaran lain yang terkait (PKn dan Agama) berupaya memfokuskan pada komitmen nasional dalam membangun budaya dan karakter bangsa yang mengarah pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Komitmen nasional ini merupakan landasan bagi upaya pembangunan budaya dan karakter bangsa agar dapat menyiapkan generasi muda yang memiliki karakter ke-Indonesiaan, berjiwa sosial dan berperilaku sebagaimana yang diamanatkan oleh nilai, moral dan norma Pancasila.
B. FENOMENA SOSIAL MENGGESER TATANAN NILAI DAN MORAL
                Semangat reformasi memunculkan eouforia kebebasan yang berlebihan dan seringkali tak terkendali sehingga perilaku anarki menjadi sesuatu yang lumrah karena kebebasan yang diusung oleh derap reformasi. Budaya dan karakter bangsa Indonesia yang terkenal santun, ramah dan penuh kekeluargaan, seakan-akan berubah menjadi perilaku yang mudah marah, anarki, saling mencurigai antar sesamanya. Unjuk rasa yang merupakan bagian dari kebebasan warganegara, menjadi sarana untuk menghujat para pejabat, bahkan seringkali berakhir dengan bentrokan dan kekacauan yang tidak mengindahkan kesantunan dan etika berdemokrasi.
                Fenomena sosial yang mencuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada tiga dekade terakhir ini tengah mengalami proses kehilangan karakter dan demoralisasi ke-Indonesiaan, mulai dari moralitas perilaku maupun sosial budaya bangsa. Dalam aspek sikap dan perilaku, yang biasanya ramah dan suka menolong bergeser menjadi perilaku yang apatis dan individualistis. Seni budaya tradisionil yang menjadi warisan bangsa semakin tidak terminati oleh generasi muda, sehingga tak bertahan kelestariannya dan tinggal menunggu waktu kepunahannya. Dalam aspek sikap, sebagian kelompok masyarakat sudah kehilangan kejujuran dan rasa malu. Indikator yang tampak dari kejujuran dan rasa malu, antara lain perilaku korupsi dan manipulasi yang masih masih memasyarakat dengan berbagai modus operandinya. Rasa kekeluargaan dan ke-Indonesiaan juga semakin berkurang, karena banyak daerah-daerah kota maupun kabupaten yang cenderung mengutamakan kepeningannya sendiri dengan dalih otonomi. Pengutamaan kepentingan individu dan golongan semakin menggeser kepentingan bersama, bangsa dan negara.
                Kondisi yang menodai karakter bangsa ini perlu segera memperoleh perhatian, karena kalau dibiarkan, bangsa Indonesia akan kehilangan jati diri dan karakteristik yang khas sebagai bangsa yang ramah, santun, beretika dan penuh rasa kekeluargaan. Tentu saja kita tidak menghendaki kehilangan jati diri dan karakter bangsa yang sangat bermartabat dan beradab tersebut. Pergeseran nilai dan moral ini perlu dicermati akar penyebabnya yang menjadi sumber perubahan nilai dan perilaku. Situasi yang mengancam perilaku dan karakter bangsa ini, menurut Dasim (2009) dapat di minimalisir melalui Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial bekerjasama dengan Pendidikan Kewarganegaraan, karena akar permasalahan fenomena sosial ini bersumber dari ilmu-ilmu sosial yang sangat kompleks dan holistik sehingga menyentuh permasalahan yang mendasar, yang terkait dengan aspek karakter dan sosial budaya bangsa Indonesia dalam mengarungi era reformasi. Demokratisasi perlu ditumbuh-kembangkan dalam kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara, setelah sekian lama terkungkung oleh struktur kekuasaan otokrasi yang dimainkan rezim Orde Baru yang sangat membelenggu kehidupan demokrasi masyarakat Indonesia.
                 Pemerintahan reformasi yang diharapkan membawa kebebasan dan keterbukaan dalam kehidupan yang demokratis, ternyata memunculkan sistim oligraki yang dikendalikan sekelompok elit politik yang masih jauh dari upaya pemerintahan yang berpihak pada rakyat banyak. Kekuasaan politik formal dikuasai oleh sekelompok elit partai dengan legitimasi Pemilu, menguasai suara parlemen, yang seringkali karena memiliki agenda politik sendiri sehingga berbeda dengan kepentingan masyarakat. Kekuasaan kharismatik yang berakar dari tradisi, maupun agama terdapat pada beberapa orang yang mampu menggerakan loyalitas dan emosi rakyat yang bila perlu menjadi tumbal untuk tujuan yang bagi mereka sendiri tidak jelas. Mekanisme hukum formal dikendalikan oleh kaum praktisi dan penegak hukum yang dengan kepiawaian dan wewenangnya bisa memainkan peran sebagaimana yang dikehendakinya. Demikian juga peran kelompok elit berduit, dengan kekayaannya mereka bisa membeli kebenaran melalui lembaga hukum, pembentukan opini publik bahkan membayar tukang demo untuk mewujudkan keinginannya . Kasus suap dan makelar kasus merebak di berbagai instansi pemerintah bahkan di lembaga parlemen yang memunculkan rekayasa kebijakan dan regulasi yang menguntungkan kelompok elit tersebut. Di berbagai daerah, kelompok kecil elit daerah juga memainkan peran untuk kepentingan kelompoknya. Mereka memiliki wewenang formal maupun informal untuk mengatasnamakan aspirasi daerah demi kepentingan mereka sendiri. Karakter-karakter bangsa juga merasuk pada kelompok-kelompok kepentingn (interest group) dan aktivis vocal, yang sering menyuarakan isu separatisme, federalisme, otonomi khusus, bahkan isu putra daerah serta kelompok vokal yang mengatasnamakan rakyat, yang ironisnya aksi-aksi demo mereka justru mengganggu kepentingan masyarakat banyak.
                Namun kita masih bisa berharap, karena di sebagian anggota masyarakat, masih terlihat adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menampilkan karakter-karakter warisan budaya bangsa. Semangat nasionalisme, rasa kekeluargaan dan nilai-nilai kemanusiaan masih dijunjung tinggi. Sendi-sendi kehidupan demokratis dan rasa cinta terhadap sesamanya masih terpelihara dalam bermasyarakat. Kegotong-royongan dan kebersamaan serta kekeluargaan masih menjadi dasar nilai dan moralitas dalam berperilaku. Aspirasi ini sesungguhnya banyak didukung oleh masyarakat luas (silent majority), tetapi gerakan-gerakan sosial yang memperjuangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa ini masih lemah dan sporadik. Pengamalan nilai dan moralitas yang berdasarkan budaya dan karakter bangsa ini masih bisa bertahan dan bisa diupayakan kelestariannya. Terutama masih tampak jelas berkembang pada masyarakat tradisional di daerah-daerah pedesaan yang tersebar di pelosok tanah air.
                Namun tantangan terhadap upaya pelestarian nilai moral dan karakter bangsa menghadang di depan mata. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibawa oleh arus globalisasi semakin menuntut adanya demokratisasi dan transparansi dalam berbagai sendi kehidupan sosial. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta transportasi, telah mengubah dunia seakan-akan menjadi kampung besar (the big village). Dunia semakin menjadi sempit dengan batas-batas wilayah negara yang semakin tidak jelas (borderless) dan bahkan seakan-akan tidak mengenal batas-batas Negara yang jelas. Perubahan sosial dan budaya dunia yang dibawa arus globalisasi ini bisa berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bahkan perubahan tersebut mampu mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat Indonesia. Upaya-upaya penanaman budaya dan karakter bangsa sering terkendala oleh pengaruh globalisasi yang membawa pengaruh perubahan gaya hidup dan sikap serta moralitas generasi muda. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kenichi Ohmae (dalam Suhanaji & Waspodo, 2005) bahwa dalam perkembangan masyarakat global, batas-batas wilayah negara dalam arti geografis dan politik relatif masih tetap. Namun kehidupan dalam suatu negara tidak mungkin dapat membatasi kekuatan global yang berupa informasi, inovasi, dan industri yang membentuk peradaban modern. Berbagai saluran informasi global tidak mungkin dibendung oleh kekuatan apapun untuk merasuk pada wawasan, sikap dan perilaku masyarakat Indonesia. Globalisasi yang membawa arus kebebasan, transparansi dan demokratisasi berpotensi kuat untuk menggeser tatanan nilai, moral dan perilaku masyarakat yang berujung pada perubahan budaya dan karakter bangsa Indonesia.
 C. MEMBANGUN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA
                Modernisasi dan globalisasi adalah dua konsep yang saling mempengaruhi dalam peradaban manusia. Modernisasi yang muncul sejak pasca revolusi industri di Inggris (1760-1830) dan revolusi politik di Perancis (1789-1794) telah membawa perubahan sosial yang sangat mempengaruhi peradaban manusia. Sedangkan globalisasi mulai bergulir seiring dengan berakhirnya perang dingin antara Negara-negara Blok Barat dan Blok Timur pada akhir dekade tahun 1980-an, yang ditandai dengan hancurnya Negara Uni Soviet. Pada dekade ini juga terjadi trend ekonomi global, yakni sebuah integrasi sistem ekonomi Negara ke dalam sistim ekonomi global sehingga berkembang suatu pandangan bahwa globalisasi sesungguhnya merupakan kebijakan ekonomi domestik yang di arahkan untuk memperluas jaringan pasar internasional. Fenomena globalisasi yang kemudian meluas ke berbagai sendi kehidupan dan melanda ke berbagai pelosok dunia aktif digerakkan oleh lokomotif kelompok kapitalisme dari Negara-negara Barat, sehingga membawa dampak perbedaan bahkan benturan tatanan nilai dan norma serta moral bagi Negara-negara yang berbeda ideologi dan pandangan hidupnya dengan bangsa Barat. Perkembangan peradaban modernisasi yang terbawa arus globalisasi ini memunculkan semangat kebebasan (freedom), yang merasuk pada nurani individu maupun masyarakat. Keterkaitan antara individu dan lingkungannya memberikan individu pada perasaan aman (security feeling), perasaan kebersatuan (belongingness) dan perasaan bahwa ia mengakar (rooted) pada lingkungannya. Namun diperolehnya kebebasan oleh individu itu berdampak pada hilangnya kebersamaan (togetherness) rasa sosialisme dan kebermaknaan individu, yang kemudian berganti menjadi kekhawatiran (anxiety), ketidak-berdayaan (powerless), kemenyendirian (aloneless), keterombang-ambingan (uprootedness), keraguan (doubt) yang kesemuanya itu bermuara pada sikap permusuhan (hostility). Siklus individualisasi ini berkembang secara alamiah, terjadi pada setiap individu di berbagai tempat. Kondisi ini yang sebenarnya tidak bermakna dalam kehidupan sosial kemanusiaan pada peradaban manusia, namun laju pengaruhnya sulit dibendung seiring dengan bergulirnya pergeseran nilai dan moral yang bergerak cepat pada fenomena globalisasi. Sebab disamping membutuhkan kebebasan (freedom), individu juga memerlukan ketergantungan (dependensi atau submissiveness). Apabila kebutuhan submissiveness itu tidak terpenuhi, maka kebebasan menjadi tidak bermakna lagi. Maka timbullah mekanisme untuk melarikan diri dari kebebasan atau escape from freedom berupa melukai diri sendiri (masochism), melukai orang lain (sadism), melenyapkan objek atau saingan (destructiveness), dan mengekor secara serempak (automaton) (Budimansyah,2004:27).
                Kapitalisme yang berkembang pada abad ke-15 awalnya berkembang di Italia, yang antara lain disebabkan laut Merah menjadi jalur kegiatan perdagangan Eropa, dan dekatnya ke Dunia Timur (termasuk Arab/Islam), sehingga kebudayaan Timur dapat diboyong ke Eropa. Sistem kapitalisme yang timbul adalah kapitalisme bangsawan. Perekonomian dilakukan di atas landasan etika yang kuat (persaudaraan) dan sedikit sekali persaingan. Sejak abad ke-16, ketika terjadi Reformasi Gereja, kelompok kelas menengah menjadi mencuat ke atas sebagai akibat pergeseran nilai mereka yang mendambakan harta kekayaan (sebagai hukum keberhasilan). Ajaran mereka yang terpenting adalah kemandirian dan mengandalkan usaha sendiri dengan berjerih payah. Sisi positif dari kapitalisme ini gencar di masyarakatkan oleh Protestanisme, dengan tema sentralnya adalah kebebasan. Namun segi negatifnya, dari semangat kapitalisme ini seperti: perasaan tidak aman (insecurity feeling), kegelisahan (anxiety), kehilangan kekuatan (powerless), dan sebagainya, tidak disinggung secara seimbang.
                Kapitalisme Barat yang didambakan masyarakat modern memiliki karsa (will) yang kuat (seperti kemandirian, percaya diri, jerih payah), akan tetapi tercipta pula masyarakat yang goyah nuraninya. Kegoyahan itu ditimbulkan oleh tiadanya ketenangan batin (insecurity feeling) akibat melupakan nilai-nilai agama dan kebutuhan batiniah lainnya.
                Peradaban modern telah menghasilkan suatu impian untuk menyiptakan suatu masyarakat baru dengan moralitas baru yang penuh harapan untuk mewujudkan masyarakat modern yang mandiri dan sejahtera. Namun demikian, sampai akhir abad ke-20, sekalipun telah lahir berbagai organisasi warganegara yang sukarela dan mandiri (seperti LSM, organisasi massa, dan organisasi politik), peradaban manusia di dunia masih diwarnai berbagai kekejaman terhadap manusia dan lingkungannya. Jadi kesejahteraan manusia pencapaiannya bukan semata-mata terletak pada terciptanya hubungan yang seimbang antara individu dan masyarakat, tetapi yang lebih mendasar adalah adanya moralitas (karakter) baru yang perlu ditanamkan pada individu modern dalam mengembangkan peradaban manusia.
Suara tuntutan moralitas baru sebenarnya telah diteriakan oleh Revolusi P e rancis yang sangat fenomenal, yaitu: “liberte, egalite, fraternite” (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Tetapi sampai saat ini tampaknya hanya “kebebasan” yang berkembang dengan pesat, sedangkan “persamaan” masih jauh tertinggal. Ini terutama disebabkan karena moral “persaudaraan” tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam peradaban modern ini. Demikian halnya yang terjadi pada masyarakat kita pada era reformasi. Semua lapisan masyarakat menuntut kebebasan, sementara semangat persaudaraan sebagai bangsa semakin terpuruk dan akibatnya persamaan dan keadilan sulit untuk diwujudkan. Bahkan kebebasan yang dilaksanakan tanpa didasari etika moral dan karakter ke-Indonesiaan, yang substansinya adalah “persaudaraan” sebagai sikap moral baru. Moralitas (karakter) baru diharapkan mampu melandasi pranata sosial dan menghasilkan hubungan sosial yang harmonis antara individu dan masyarakat, bahkan antar warganegara dalam berbangsa dan bernegara.
Pranata-pranata sosial mengatur bagaimana seharusnya kita hidup? dan “bagaimana kita berpikir tentang bagaimana kita hidup?”. Namun yang terjadi di dalam kehidupan masy a rakat, pranata-pranata sosial yang mengatur bagaimana kita hidup, ternyata berjalan kurang harmonis, dan tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya kita inginkan (ideal values). Jadi ideal values hanya tersimpan dalam khasanah budaya kita, dan tidak secara efektif mengatur perilaku individu dalam bermasyarakat. Dalam peradaban modern seharusnya ada keseimbangan antara hak (yang berorientasi pada keakuan) dan kewajiban (yang berorientasi pada hak orang banyak). Pemikiran ini sangat relevan untuk mengoreksi fenomena yang terjadi pada masyarakat Indonesia yang sejak jaman penjajahan sampai pemerintahan Orde Baru selalu dilecehkan hak-haknya oleh pemerintah. Munculnya era reformasi, membentuk sikap masyarakat yang ingin lepas dari kendali pemerintah, sehingga cenderung menuntut hak-haknya (yang seringkali melanggar hak orang lain), dengan tidak diimbangi kewajiban untuk menghormati kepentingan umum.
                Membangun budaya dan karakter ke-Indonesian merupakan suatu proses usaha untuk memberi posisi warganegara untuk lebih mandiri dalam bermasyarakat, membina etos demokrasi yang bukan sekedar menekankan hak individual dan supremasi hukum, tetapi terutama menekankan pada pembenahan budaya dan karakter warganegara dalam hubungan antar sesama warganegara ketika bermasyarakat, penanaman nilai dan norma, kerukunan dan kekeluargaan yang mampu menumbuhkan kepedulian terhadap sesama warganegara.
 D. PERANAN PENDIDIKAN IPS
                Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran inti di Sekolah Dasar (SD) yang telah dimasukkan pada Kurikulum tahun 1975, pada hakekatnya bertujuan untuk membelajarkan ilmu-ilmu sosial pada siswa level pendidikan dasar. Ilmu-ilmu sosial (sejarah, geografi, sosiologi, antropologi, ekonomi, politik, hukum, psikologi massa) merupakan sumber atau akar pengembangan materi dan bahan pembelajaran IPS di SD. Dalam kajian IPS di SD, salah satu sumber pembelajarannya adalah sosiologi dan antropologi budaya bangsa, serta politik pemerintahan yang bertujuan membina budaya dan karakter siswa sesuai dengan harapan bangsa dan negara. Mata pelajaran IPS memiliki peranan yang diandalkan sebagai wahana untuk membina budaya dan karakter siswa sehingga kelak menjadi warganegara yang berkarakter Indonesia. Agar budaya dan karakter siswa Sekolah Dasar bisa dikembangkan sesuai dengan harapan bangsa dan negara, pembelajaran IPS perlu dikemas agar menarik dan mampu membina budaya dan karakter siswa secara efektif dan efisien yang pada gilirannya nanti bisa diandalkan menjadi warganegara yang berbudaya dan berkarakter ke-Indonesiaan.
Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006), mata pelajaran IPS di SD bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan social.
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global.
Dalam konteks pembangunan budaya dan karakter bangsa, mata pelajaran IPS memiliki peran yang relevan untuk membina warganegara dalam membangun karakter bangsa. Siswa adalah generasi muda penerus bangsa, sehingga perlu dididik dan dibina agar menjadi warga negara yang memahami dan memiliki kesadaran terhadap hak dan kewajibannya. Pemerintah tentu saja mendambakan generasi mudanya agar menjadi warganegara yang baik dan dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan negaranya. Pemerintah berkepentingan untuk menciptakan masyarakat yang demokratis, berkarakter dan berbudaya Indonesia.
Suasana kehidupan demokrasi konstitusional merupakan media yang efektif untuk membina karakter bangsa. Mata pelajaran IPS berkepentingan untuk mempertahankan kelangsungan demokrasi konstitusional. Ethos demokrasi adalah sikap yang tidak bisa diwariskan, tetapi perlu dibelajarkan dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasi bukanlan “mesin yang akan berfungsi dengan sendirinya”, tetapi harus selalu secara sadar direproduksi dari suatu generasi ke generasi berikutnya demi eksistensi dan kelangsungan hidup suatu bangsa dan negara.. Demokrasi dipelihara oleh warganegara yang mempunyai pengetahuan, kemampuan dan karakter yang dibutuhkan. Tanpa adanya komitmen yang benar dari warganegara terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi, maka masyarakat yang terbuka dan bebas, tak mungkin terwujud.
Pembelajaran IPS di SD bisa dikembangkan menjadi wahana yang efektif untuk menanamkan pemahaman terhadap bahan pembelajaran, sikap dan keterampilan siswa untuk berbudaya dan berkarakter Indonesia. Setting kelas dalam pembelajaran IPS perlu diciptakan suasana kondusif dan produktif untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa melalui perlibatannya secara proaktif dan interaktif baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas sehingga memberi pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) untuk mengembangkan karakter siswa. Pelaksanaan kegiatan ekstra-kurikuler sebagai wahana sisio-pedagogis untuk mendapatkan “hands-on experience” juga bisa dikemas menjadi sarana yang efektif untuk memberikan kontribusi yang signifikan dalam menyeimbangkan antara penguasaan teori dan praktek penanaman nilai, budaya dan karakter siswa dalam berkehidupan di masyarakat yang demokratis.
Tentu saja penanaman nilai dan budaya bangsa tersebut bukan berati tanpa kendala. Membina karakter siswa agar sesuai dengan harapan dan menghasilkan suatu totalitas hasil belajar yang mencerminkan pencapaian secara komprehensif dari dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang koheren, perlu perjuangan yang ulet dan berkesinambungan. Selain menghadapi kendala internal dalam proses pembelajara di kelas, pendidikan IPS juga menghadapi kendala eksternal yaitu kritikan dan tuntutan dari berbagai lapisan masyarakat berkaitan dengan semangat demokratisasi yang semakin meningkat dengan segala eksesnya. Kritikan dan tuntutan masyarakat tersebut sangat wajar, sebab moralitas dan karakter siswa semakin memprehatinkan. Dengan demikian kritikan tersebut perlu direspon dan diakomodasi secara proporsional karena tanggung jawab membina karakter bangsa menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, guru dan masyarakat.
Kendala eksternal lainnya yaitu pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan dan situasi global yang berkembang cepat, baik yang bermuatan pengaruh positif maupun yang bermuatan pengaruh negatif atau pengaruh yang bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Tentu akan menjadi tantangan bagi pembelajaran IPS di S ekolah D asar pada masa mendatang untuk bisa berperan secara lebih professional dalam membina budaya dan karakter siswa sebagai generasi penerus bangsa Indonesia.


BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN     
Peran Pendidikan IPS dalam membangun budaya dan karakter bangsa, semakin urgen seiring dengan merosotnya nilai, moralitas dan karakter bangsa. Mata pelajaran IPS sebagai program kurikuler di lembaga pendidikan formal, berperan sebagai wahana penanaman budaya dan karakter bangsa pada siswa sebagai generasi muda. Penyiapan dan pembekalan siswa sesuai dengan potensinya agar menjadi warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizen). Pemikiran ini didasari oleh asumsi bahwa untuk mendidik anak menjadi warganegara yang cerdas dan baik harus dilakukan secara sadar dan terencana dalam suatu proses pembelajaran agar mereka secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan IPS sebagai gerakan sosio-kultural yang berperan sebagai wahana aktualisasi diri warganegara baik secara perorangan maupun kelompok sesuai dengan hak, kewajiban, dan konteks sosial budayanya, melalui partisipasi aktif secara cerdas dan bertanggung jawab. Kewarganegaraan bertalian dengan masyarakat, karena disamping secara historis konsep tersebut tumbuh bersamaan dengan perkembangan identitas manusia sebagai makhluk sosial politik, juga disebabkan oleh adanya usaha mewujudkan sikap sosial yang baik dan diharapkan (desirable) melalui penguatan nilai dan norma dalam masyarakat. Karena yang dibangun dalam gerakan sosio-kultural itu pranata sosial yang berunsurkan sistem nilai dan norma, maka masyarakat dan komunitas dalam hal ini perlu menyediakan ruang publik bagi warganegara untuk berbudaya dan berkarakter. Kajian sosio-cultural terhadap fenomena perkembangan masyarakat dewasa ini menunjukkan bahwa akar dari berbagai masalah sosial budaya dan karakter bangsa ini terkait dengan masalah kekeluargaan, kerukunan, kepedulian, kemandirian, dan demokrasi. Proses pembinaan budaya dan karakter bangsa (socio-cultural development) yang melibatkan pranata sosial dan unsur-unsur sistem nilai dan norma yang berkembang